Harian-RI.com
JEPANG dikenal sebagai negara yang memiliki etika tinggi, khususnya bagi pemegang kekuasaan yang terbukti melakukan kesalahan, banyak yang memutuskan untuk mengundurkan diri.
Jangankan berstatus tersangka, Menteri Jepang untuk urusan olimpiade dan paralimpik, Yoshitaka Sakurada, sampai minta maaf dan didesak mundur, hanya gara-gara terlambat tiga menit saat menghadiri rapat kerja dengan parlemen.
Menurut Sosiolog Universitas Airlangga Bagong Suyanto, hal ini karena di Jepang, memiliki kultur ksatria yang mengedepankan kehormatan dan tanggung jawab.
Bagaimana di Indonesia? "Sayangnya kultur seperti itu belum tumbuh, sehingga yang dikorbankan biasanya justru aparat atau pihak-pihak yang dimensinya lebih rendah dari pejabat itu sendiri," jelasnya, sebagaimana kami kutip dari Kompas.com.
Keengganan pengunduran diri dari jabatan publik tersebut karena pejabat tidak memahami etika dan moral.
Padahal, etika kehidupan berbangsa telah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001. Tinggal oknum pejabat yang kena kasus tersebut mau taat pada etik atau tidak.
"Tetapi, terkadang orang beralasan; ini kan (status) hukumnya belum jelas, oh ini kan saya direkayasa (masalah hukum), dan sebagainya. Itu menyangkut soal etika moral yang lain lagi, tetapi aturan etikanya begitu," ujar Profesor Mahfud MD, seperti dikutip antaranews.com.
"Pejabat publik yang kebijakannya mendapat sorotan negatif dari masyarakat harus mau mengundurkan diri meskipun belum ada putusan pengadilan," tegas mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ini.
Setuju Prof! Bagaimana ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa akan dirasakan, jika nilai-nilai Pancasila, baik yang bersifat hukum maupun non-hukum, tak diikuti dengan baik. Khususnya oleh pejabat publik.
Sudahlah, kalau sudah tersangka mundur saja. Kepentingan negara (rakyat) lebih utama daripada kepentingan pribadi. Bikin malu!
Bagaimana menurut Anda? (Nursalim Turatea).
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar