
SIMEULUE_Harian-RI.com
Praktik rangkap jabatan yang dilakukan oleh Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Simeulue, Firnalis, menuai sorotan tajam. Pasalnya, sejak tahun 2022 hingga saat ini, Firnalis diketahui menjabat sebagai Ketua Satuan Pelaksana (Satpel) Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Simeulue, sebuah lembaga pelaksana program pemerintah Aceh yang dibiayai dari anggaran publik. Hal ini jelas menabrak prinsip-prinsip dasar kode etik jurnalistik, UU Pers No. 40 Tahun 1999, dan nilai-nilai independensi profesi wartawan.
Tak hanya menjadi sorotan publik, sikap diamnya PWI Aceh dan pembiaran dari pihak Pemerintah Kabupaten Simeulue mempertegas adanya dugaan pembiaran terhadap pelanggaran etika ini.
*PELANGGARAN SERIUS TERHADAP KODE ETIK JURNALISTIK*
Menurut Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers, seorang wartawan wajib menjaga jarak dari kekuasaan dan tidak boleh menyalahgunakan profesinya untuk kepentingan pribadinya. Jabatan Firnalis sebagai Ketua Satpel BRA menempatkannya dalam posisi berkonflik kepentingan secara langsung, karena ia menjalankan program pemerintah sambil memimpin organisasi profesi wartawan yang seharusnya bersikap independen.
Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik:
"Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk."
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik:
"Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap."
BRA sebagai lembaga pemerintah tentu bersinggungan langsung dengan kepentingan pemberitaan dan pengawasan publik. Maka, ketika seorang wartawan sekaligus ketua PWI menjadi pelaksana program pemerintah, fungsi kontrol media menjadi lumpuh dan potensi konflik kepentingan sangat tinggi.
*BERTENTANGAN DENGAN UU PERS NO. 40 TAHUN 1999*
UU Pers menjamin kemerdekaan pers sebagai alat kontrol sosial terhadap pemerintah. Namun jika pelaku pers justru duduk sebagai bagian dari pemerintah, maka kemerdekaan dan fungsi kontrol tersebut cacat sejak awal.
Pasal 7 Ayat 2 UU Pers:
"Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik."
*PWI ACEH DAN PEMKAB SIMEULUE DINILAI TUTUP MATA*
Ironisnya, hingga saat ini PWI Aceh belum mengambil sikap tegas. Padahal, organisasi profesi seperti PWI semestinya menjunjung tinggi etika dan kredibilitas anggotanya. Hal yang sama juga terlihat dari sikap diam Pemerintah Kabupaten Simeulue, yang membiarkan tumpang tindih peran ini berlangsung selama lebih dari dua tahun.
*DESAKAN EVALUASI DAN KLARIFIKASI TERBUKA*
Kasus ini harus menjadi perhatian serius, karena menyangkut integritas profesi jurnalistik, netralitas organisasi wartawan, dan tata kelola pemerintahan yang sehat.
1. PWI Aceh segera memeriksa dan memberi sanksi kepada Firnalis sesuai aturan organisasi.
2. Dewan Pers turun tangan untuk menegakkan independensi dan kode etik wartawan.
3. Pemerintah Aceh dan Kabupaten Simeulue menjelaskan dasar hukum pengangkatan wartawan aktif sebagai pelaksana BRA.
4. Firnalis memilih salah satu peran: menjadi pelaksana negara atau tetap sebagai pemimpin organisasi profesi pers.
*AKHIR KATA*
Pers yang sehat adalah pers yang independen. Ketika wartawan masuk ke dalam struktur pemerintahan dan tetap memegang peran kunci dalam organisasi profesi, maka yang terjadi bukanlah kebebasan pers, tetapi penyanderaan moralitas dan kepercayaan publik terhadap media itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar