Oleh: Dr. Nursalim, M.Pd
Jakarta_Harian-RI.com
Perdebatan mengenai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto kembali mencuat di ruang publik. Isu ini tidak hanya berbicara tentang seorang tokoh, tetapi juga tentang cara bangsa Indonesia menilai masa lalunya: apakah dengan dendam dan amarah, atau dengan kebijaksanaan dan rasa adil sejarah.
Soeharto adalah salah satu figur paling berpengaruh dalam perjalanan republik ini. Selama 32 tahun pemerintahannya, Indonesia mengalami masa stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, serta kemajuan besar di bidang pertanian dan infrastruktur. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencapai swasembada pangan dan berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Dunia internasional pun mengakui prestasi tersebut, antara lain melalui penghargaan dari FAO pada tahun 1984.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masa pemerintahannya juga meninggalkan luka sejarah: pembatasan kebebasan politik, pelanggaran hak asasi manusia, serta praktik korupsi yang menodai akhir rezim Orde Baru. Inilah yang membuat wacana pemberian gelar pahlawan kepadanya selalu berujung pada pro dan kontra.
Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Suwignyo, menegaskan bahwa menilai Soeharto harus dilakukan dengan keseimbangan pandangan. “Setiap pemimpin memiliki sisi terang dan sisi gelap. Soeharto punya kontribusi besar bagi bangsa, dan menilainya secara adil adalah tanda kedewasaan sejarah,” ujarnya.
Pandangan serupa datang dari pengamat sejarah Universitas Indonesia, Dr. Bonnie Triyana, yang menyebut bahwa bangsa besar adalah bangsa yang berani berdialog dengan masa lalunya. “Mengakui jasa Soeharto tidak berarti melupakan kesalahannya. Justru di situlah kematangan moral dan intelektual kita diuji,” katanya.
Dari perspektif kebangsaan, pengakuan terhadap jasa Soeharto bisa dimaknai sebagai bentuk rekonsiliasi sejarah upaya bangsa untuk memahami masa lalunya secara utuh tanpa menutup mata terhadap kenyataan pahit. Pemberian gelar pahlawan kepadanya tidak harus dipandang sebagai pemutihan kesalahan, melainkan penghargaan atas kontribusi besar terhadap pembangunan nasional.
Dalam penelitian saya mengenai sejarah lokal dan identitas budaya di Kepulauan Riau, saya melihat bahwa masyarakat yang mampu menghormati tokoh masa lalunya dengan jujur akan menjadi masyarakat yang kuat secara moral dan budaya. Demikian pula Indonesia: bangsa ini akan tumbuh dewasa bila mampu mengakui jasa besar seorang pemimpin tanpa menafikan catatan sejarahnya.
Soeharto telah memberikan banyak hal bagi negeri ini — stabilitas, pembangunan, dan arah kebijakan yang membawa Indonesia ke panggung dunia. Mengakui itu tidak berarti menutup mata terhadap kekeliruannya, melainkan memandangnya dengan kearifan yang adil dan berimbang.
Kini, tantangan kita bukan lagi mempertentangkan masa lalu, tetapi mengambil pelajaran darinya. Sejarah adalah ruang pembelajaran, bukan ruang penghakiman. Dan bangsa yang berani melihat sejarahnya secara jujur akan lebih siap menapaki masa depan dengan keyakinan dan kedewasaan.
Gelar pahlawan, bila kelak diberikan kepada Soeharto, semestinya dipahami sebagai simbol kematangan bangsa dalam menilai masa lalunya bukan karena romantisme politik, melainkan karena penghormatan terhadap jasa besar yang telah mewarnai perjalanan Indonesia.
Bangsa yang jujur terhadap sejarahnya adalah bangsa yang benar-benar merdeka, bukan hanya secara politik, tetapi juga secara moral dan intelektual.
Dr. Nursalim, M.Pd
Ketua APEBSKID Provinsi Kepulauan Riau
Ketua FAHMI TAMAMI Kota Batam (2025–2030)



Tidak ada komentar:
Posting Komentar