Oleh: Dr. Nursalim, M.Pd
Ketua APEBSKID Kepulauan Riau
Harian-RI.com
Di bawah Gunung Bawakaraeng, di sebuah desa yang bernama Tolo, Kecamatan Kelara, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, berdiri Mesjid Nurul Falah Karampuang, mesjid kebanggaan kampung setempat. Di tempat itulah kisah tentang dua sahabat, Tinggi dan Mamo, bermula.
Tinggi dikenal sebagai lelaki sederhana, pekerja keras, dan selalu bersyukur atas rezeki yang ia dapatkan. Setiap pagi ia berjalan kaki menuju ladang jagungnya sambil membawa cangkul di bahu dan bekal nasi dalam daun pisang. Ia percaya bahwa setiap butir keringat adalah titipan berkah dari Allah.
Berbeda dengan Mamo, sahabat masa kecilnya. Ia adalah orang yang cerdas dan pandai berbicara, namun dalam hatinya tersimpan keinginan besar yang kadang tak terkendali. Ia ingin hidup lebih cepat, lebih kaya, lebih dihormati. Ia sering berkata pada Tinggi, “Untuk apa bersusah payah seperti itu? Dunia ini luas, rezeki bisa dicari dengan banyak cara.”
Tinggi hanya tersenyum. “Benar, Mamo. Tapi tak semua cara membawa berkah. Kadang yang tampak besar di dunia, kecil di hadapan Tuhan.”
Suatu hari, datanglah kabar bahwa di lereng Gunung Bawakaraeng ada tambang emas baru yang ditemukan. Orang-orang desa mulai ramai membicarakan hal itu. Banyak pemuda berbondong-bondong ke sana untuk mencari emas. Mamo termasuk salah satunya. Ia menjual tanah warisan orang tuanya demi membeli peralatan tambang dan ikut mencoba peruntungan.
Sementara itu, Tinggi tetap bekerja di ladang kecilnya. Ia percaya bahwa rezeki yang halal dan sedikit lebih menenangkan daripada emas yang tak jelas asalnya.
Beberapa bulan berlalu. Orang-orang yang pergi ke gunung mulai kembali dengan wajah lelah. Sebagian berhasil membawa sedikit emas, tapi banyak juga yang pulang dengan tangan hampa. Mamo termasuk yang terakhir. Semua modalnya habis. Tanahnya hilang, dan tubuhnya kurus karena kelelahan dan kekecewaan.
Suatu sore, di halaman Mesjid Nurul Falah Karampuang, mesjid kebanggaan warga Tolo, Mamo duduk bersandar di dinding, menatap langit senja. Ia melihat Tinggi datang membawa rantang kecil berisi nasi dan ikan kering.
“Makanlah, Mamo,” kata Tinggi pelan sambil duduk di sampingnya.
Mamo menatap nasi itu lama sekali, matanya berkaca. “Segunung emas yang kucari tak bisa kubeli rasa kenyang ini,” katanya lirih. “Sepiring nasi darimu lebih berharga dari semua yang kucari di Gunung Bawakaraeng.”
Tinggi hanya tersenyum dan menepuk bahunya. “Kadang, Tuhan menutup jalan agar kita bisa melihat pintu lain yang lebih terang.”
Malam itu, mereka berdua ikut berjamaah di Mesjid Nurul Falah Karampuang. Suara imam menggema lembut, dan hati Mamo bergetar. Ia merasa damai untuk pertama kalinya setelah sekian lama dikejar oleh ambisi dunia.
Sejak malam itu, Mamo berubah. Ia mulai membantu warga di ladang, memperbaiki jalan desa, dan ikut mengajar anak-anak mengaji di mesjid. Dari kesederhanaan itu, ia menemukan kebahagiaan sejati.
Dan Tinggi, sahabatnya yang setia, tetap berjalan di jalan yang sama jalan syukur dan kesabaran. Ia sering berkata kepada warga desa yang mulai serakah karena berita emas,
“Segunung emas tak akan cukup bagi orang yang tamak, tapi sepiring nasi sangat berharga bagi mereka yang tahu arti syukur.”
Kini, setiap kali adzan berkumandang dari menara Mesjid Nurul Falah Karampuang, mesjid kebanggaan kampung Tolo di lereng Gunung Bawakaraeng, nama Tinggi dan Mamo sering disebut dalam doa. Mereka bukan lagi sekadar dua sahabat, tetapi dua cermin kehidupan yang mengajarkan satu hal: bahwa kebahagiaan sejati bukanlah apa yang kita miliki, melainkan bagaimana kita bersyukur atas setiap yang Allah beri.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar